Genoside itu Bernama Pedofil

Sumber : http://www.saradbali.com/edisi94/sorot.htm

Bali selain menawarkan obyek wisata yang menawan hati orang asing, juga menjadi surga bagi para pedofil dalam melakukan aksinya.
Glamour dunia pariwisata Bali ternyata tidak hanya menyajikan cerita sukses berupa sumbangan devisa dan lapangan kerja bagi masyarakat, namun juga menyertakan kepedihan di dalamnya. Genderang “pariwisata budaya” itu, juga telah mengundang sejumlah besar orang-orang asing yang melakukan perjalanan ke Bali untuk tujuan memperoleh akses seksual dengan anak-anak. Istilah kerennya adalah menjadi Pedofil. Pedofilia adalah seseorang yang berusia 35-65 tahun, memiliki fokus erotik dan fantasi serta kepuasan jika berhubungan seksual dengan anak-anak (umumnya di bawah 14 tahun). Jadi, dalam praktiknya, para pedofil di Bali melakukan aktifitas seksual dengan puluhan, bahkan ratusan korban; melakukan pemotretan telanjang dan semitelanjang terhadap anak-anak di Bali; mengoleksi foto dan celana dalam anak-anak untuk bahan fantasi seks, dan mengharuskan anak-anak yang diajaknya hanya memakai celana dalam sewaktu tinggal bersama pedofil di rumahnya. Seperti yang diungkapkan penduduk di Desa Muntigunung dan Pedahan Kaja, Karangasem, kaum pedofil tersebut ternyata sudah hadir lebih dulu di kampung mereka sebelum genderang “pariwisata budaya” itu berkumandang (1980-an). Menurut ingatan penduduk lokal di sini, orang-orang asing itu (kaum pedofil) sudah berdiam di kampung mereka sejak sekitar tahun 1974-an. Namun ironisnya, praktek pedofilia mereka baru terdengar sekitar tahun 1995, kemudian terungkap lagi pada tahun 1998 dan mulai mendapat perhatian khusus pada tahun 2004, setelah seorang pedofil asal Italia, Mario Manara (57 tahun) tertangkap di Lovina-Singaraja, dan seorang lagi mantan diplomat Australia, Wiliam Stuart Brown alias Tony (52 tahun) tertangkap di Karangasem, yang belakangan diketahui gantung diri di penjara (12 Mei 2005) setelah mendapat vonis hukum 13 tahun penjara.Pengalaman Bali, bukanlah sendiri. Negara-negara di Asia Tenggara, seperti Philipina, dan Thailand, juga pernah mengalami kasus serupa, bahkan di Philipina tepatnya di Pagsanjan (baca: Pak-sang-hang) pada tahun 1980-an pernah mendapat predikat sebagai “sorganya kaum pedofil Asing di Dunia”, (Kompas, 1997).

Menurut temuan End Child Prostitusion in Asia Tourism (ECPAT:1996) diketahui bahwa Asia dan Asia Tenggara sudah menjadi tempat yang paling populer bagi para pedofilia. Seperti di India misalnya telah diketahui sebanyak 500.000 anak-anak usia 5-16 tahun telah dijual ke pelacuran, di Srilangka sekitar 10.000 anak, di Filipina sekitar 60.000 anak, di Thailand sekitar 800.000 anak, di Kamboja 2.000 anak, di Banglades sekitar 10.000 anak dan di Vietnam sekitar 8.000 anak. Jumlah tersebut termasuk perdagangan dalam bentuk foto, video, maupun film.Teknik perdagangan pedofil umumnya lebih rapi dan terencana dengan menggunakan berbagai modus seperti sebagai turis (visa turis), guru salah satu bahasa asing, guru olah raga, bapak angkat, penitipan anak, pekerja sosial dan penderma keluarga miskin. Untuk melancarkan aksi modusnya itu seringkali mereka menggunakan media massa atau lembaga kemanusian (LSM) untuk menarik objeknya. Modus operasi selanjutnya setelah melampaui tahap perekrutan tersebut, adalah anak ditampung dalam kelompok pedofil dan selanjutnya anak diperlakukan secara seksual atau diperdagangakan khususnya untuk tujuan konsumsi pasar pornografi

Hasil penelitian Rohman dari Pusat Studi Kependudukan dan Kawasan (PSKK) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, membabarkan dengan benderang fenomena pedofil di Bali. Hasil penelitian antropologis tersebut mengungkapkan bahwa ternyata industri pariwisata Bali telah menjadi bagian dari jaringan internasional perdagangan anak oleh para pedofil. Kawasan wisata memberikan kemudahan bagi pedofil untuk melancarkan aksinya.

Dari 21 kawasan wisata yang ada di Bali, terdapat tiga kawasan paling sering dikunjungi kaum pedofil sebagai tempat transit dan tujuan perdagangan antarpedofil atau antar perantara, yaitu Tulamben (Karangasem), Lovina (Buleleng), dan pantai Kuta (Badung). Dengan kedok sebagai turis, mereka dapat dengan mudah masuk ke daerah-daerah miskin atau obyek wisata secara bebas dan aman.Mudahnya kawasan wisata menjadi sasaran yang menguntungkan bagi para pedofil dalam memperdagangkan anak-anak, di antaranya, dipicu oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, urbanisasi yang pesat, perceraian yang tinggi di desa-desa miskin, dan keterasingan geografis. Selain itu, faktor yang amat mempengaruhi adalah adanya ijin bagi para pedofil untuk tinggal dan membangun rumah di desa-desa miskin seperti di desa Pedahan dan Muntigunung. Selama kurun waktu 1996-2004 terdapat 25 pedofil asal Amerika, Australia, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda yang menjalankan operasinya di Bali. Di dalam menjalankan operasi mereka, anak-anak yang diperdagangkan biasanya ditujukan untuk ‘konsumsi’ antar sesama pedofil, ataupun untuk dipekerjakan di pelacuran, bar, dan restoran.

Dalam merekrut korbannya, pedofil menggunakan sejumlah motif, antara lain, berperan sebagai bapak angkat, berpacaran, perkawinan, dan memebri bantuan ekonomi. Di antara sejumlah tersebut, motif berperan menjadi bapak angkat paling banyak digunakan dan efektif. Motif-motif yang lain justeru sering menimbulkan perlawanan dari anak, orang tua, dan warga setempat.Selain memperlakukan korbannya secara seksual mereka juga memperdagangkannya baik melalui foto, video, atau anaknya secara langsung. Polanya menggunakan teknik pindah tangan, jaringan lokal dan luar dengan melibatkan orangtua anak, broker dari penduduk desa, dan pialang anak di daerah wisata. Dari tujuan perdagangan yang berhasil diidentifikasi diketahui bahwa mereka memperdagangkan anak untuk tujuan konsumsi antar sesama pedofil, dijual ke pelacuran dan objek pornografi.Akibat dari perlakukan perdagangan seksual tersebut, nasib korban pedofil ada yang menjadi pelacur, aborsi 2-4 kali, sebagian besar pernah berniat bunuh diri dan seorang anak telah melakukan bunuh diri. Proses pemindahan ada yang di Bali dan sebagian kecil (sekitar 5 anak) di luar negeri khususnya ke negara asal para pedofil. Para pedofil ini dikenal ada yang heteroseksual dan homoseksual atau sering disebut pedofilia invariant. Dalam pedofilia tipe pertama, korban yang disasar umumnya adalah anak-anak perempuam sedangkan dalam tipe yang kedua lebih banyak anak laki-laki. Dalam kelompok yang kedua ini biasanya pedofil yang bersangkutan berkarakter kaku, tidak memiliki ketertarikan sosial dan hanya memiliki jangkauan aktifitas yang terbatas. Oleh karena itu dalam perdagangannya relatif sulit diketahui karena lingkup jaringannya juga terbatas dan kebanyakan para pedofilnya bersoliter (beroperasi menyendiri).

Dalam kasus Bali, identifikasi yang diketahui terhadap pola perdagangan mereka adalah pola pindah tangan dengan teknik menjemput korban. Para pedofil invariant dari luar Bali datang ke Bali dan setelah di Bali mereka dipandu oleh pedofil invariant yang telah lama beroperasi di Bali yang selanjutnya anak yang telah menjadi asuhan pedofil invariant di Bali diserahkan secara penuh kepada pedofil dari luar Bali tersebut. Selain pola perdagangan seperti tersebut, terdapat juga pola perdagangan dengan membawa anak korban ke luar negeri. Pola perdagangan seperti ini di Bali memang masih merupakan kasus yang sangat jarang terjadi.

 

Provided by

DR WIDODO JUDARWANTO
FIGHT CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILIA

Yudhasmara Foundation

JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210

PHONE : (021) 70081995 – 5703646

email : judarwanto@gmail.com,

https://pedophiliasexabuse.wordpress.com/

 

Copyright © 2009, Fight Child Sexual Abuse and Pedophilia  Network  Information Education Network. All rights reserved

Turis Pelaku Pedofilia Menjadi Tersangka

sumber : TEMPO Interaktif,

SINGARAJA:
Setelah diperiksa intensif 24 jam di Polres Buleleng Bali, Grandfield Philip Robert, 61 tahun, warga negara Australia itu ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan remaja. Ia langsung ditahan.Kapolres Buleleng Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Rudolf Rodja mengungkapkan tersangka, sudah sepuluh tahun menetap di Singaraja tanpa bekerja. Pekerjaan tersangka sebelum pensiun adalah sebagai akuntan. “Karena tersangka adalah pensiunan akuntan, jadi memungkinkan dia hidup di Bali tanpa harus bekerja,” ujar Kapolres kepada wartawan, Jum’at (8/8).
Setelah polisi melakukan pemeriksaan, ternyata korban dari aksi bule Australia itu berjumlah empat orang. Keempatnya itu ada yang berstatus pelajar SMP dan ada yang SMA. Umur mereka antara 16 hingga 18 tahun. Polisi menjerat tersangka dengan pasal berlapis, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang pedofilia, serta pasal 289 KHUP, tentang pencabulan.Modus operandi yang dijalankan tersangka dengan memberikan uang kepada calon korban. Tersangka juga menawarkan kepada para korbannya bermain bilyar di rumah korban. Bahkan tersangka memberikan uang untuk taruhan di antara anak-anak yang bermain bilyar.Setiap kali anak-anak itu minta uang untuk bertaruh, diharuskan masuk ke dalam kamar tersangka. Di dalam kamar para korban disuruh buka celana. Lalu penis anak-anak itu dikulum (oral sex). Sebagai imbalan, para korban mendapat uang antara Rp 25.000 hingga Rp 30.000 setiap kali melakukan oral sex.Pengakuan Philip masih akan diperdalam pihak kepolisian. Sebab, tersangka mengaku mengenal para korban terhitung sejak Maret 2008. Padahal tersangka sudah 10 tahun berdomisili di Singaraja, sehingga kemungkinan ada korban-korban lain, tapi enggan melaporkan kasusnya karena malu. “Sangat mungkin jumlah korban akan bertambah,” kata Kapolres.Selama ini tersangka tinggal di Jalan Tasbih Gang Buntu No. 1 Singaraja. Belakangan diketahui, di rumah Philip juga ada warga Australia yang tinggal di sana. Polisi akan memanggil teman Philip tersebut. Apakah temannya itu tahu ulah Philip selama ini. Made Mustika

Provided by

DR WIDODO JUDARWANTO
FIGHT CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILIA

Yudhasmara Foundation

JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210

PHONE : (021) 70081995 – 5703646

email : judarwanto@gmail.com,

https://pedophiliasexabuse.wordpress.com/

 

Copyright © 2009, Fight Child Sexual Abuse and Pedophilia  Network  Information Education Network. All rights reserved

Indonesia Surga pedofilia

sumber : depsos.go.id

Metro TV(28/8) malam menyiarkan anak jalanan korban pedofilia. Dengan suara terbata-bata, seorang anak jalanan menuturkan bahwa dia disodomi oleh seseorang berkewarganegaraan asing. Anak yang lain bercerita hal yang sama. Namun ada tambahannya, direkam melalui video. Ada jaringan kejahatan terorganisir yang beroperasi di Indonesia,” ungkap Irwanto, psikolog dari Unversitas Atma Jaya yang kerap melakukan riset tentang anak-anak jalanan dan korban kejahatan pedofil. Menurut Jati, salah satu nara sumber, bukan hanya satu-dua pria bule dewasa yang melakukan perbuatan itu. Ada beberapa nama, yang memperlakukan Jati sebagai obyek seks mereka. “Umur saya waktu itu 10 tahun, ujar Jati. Masih segar di ingatan kita kasus Robot Gedek. Atau Kasus Tony, mantan diplomat Australia, boleh dikata merupakan kasus pedofilia kedua yang paling menggegerkan di Indonesia. Kasus Tony itu hampir menyamai “kebesaran” Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Hanya, kelebihan pada kasus Robot Gedek, sejumlah korban, yakni anak-anak usia belasan tahun tewas dibunuhnya. Sementara itu, pada kasus Tony, meski tidak ada korban yang dibunuh, predikatnya sebagai mantan diplomat Australia menyebabkan kasus tersebut mengemuka. Terlebih, hanya berselang sekitar 13 jam setelah divonis, Tony ditemukan gantung diri di selnya, Lapas Kelas II B Karangasem, pada 12 Mei. i Pekanbaru, ada Deri Harahap, yang dihukum mati karena mencabuli lima anak lelaki dan membunuh mereka semua. Delapan anak kecil lainnya yang hilang dan sampai saat ini belum ditemukan diduga kuat juga menjadi korban Deri. Di Jakarta, baru-baru ini, Peter Smith, pria warganegara Australia, dilaporkan dengan tuduhan “menggarap” lima anak jalanan. Saat ini kasusnya sedang diproses. Namun perlu juga digarisbahawi, bahwa banyaknya pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak bukan semata-mata pengawasan saja yang lemah, namun dari sisi perangkat hukumnya juga harus dibenahi. Selama ini undang-undang yang sering dipakai untuk mengadili penjahat ini adalah dengan KUHP Pasal 292 juncto pasal 64. Tentang Pencabulan. Tuntutan maksimalnya 5 tahun dipandang banyak aktivis perlindungan anak sudah tidak relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku. Bahkan, dengan hukuman yang ringan, setelah keluar dari penjara, ada kecenderungan pelaku berhasrat mengulangi perbuatannya. Prof Dr LK Suryani SpKj mencontohkan soal kasus serupa di PN Singaraja pada 2002. Menurut dia, lemahnya hukuman yang dijatuhkan kepada Mario Manara, terpidana 8 bulan penjara dalam kasus sodomi terhadap puluhan anak di Pantai Lovina, Singaraja, menyebabkan ada kecenderungan pelaku-pelaku yang belum tertangkap dan terungkap melakukan hal serupa. Kinerja Depsos harus ditingkatkan,” ujar anggota Komisi VIII F-PKS Jalaluddin al-Syatibi, di Jakarta, Rabu (7/12).

Kendati sudah ada UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, masih banyak anak-anak Indonesia yang menjadi korban kekerasan akibat kurang adanya perlindungan dari Negara. Menurutnya, sangat disayangkan Depsos tidak mampu melakukan kegiatan pemberdayaan untuk anak-anak Indonesia. Padahal, dalam laporan Sekjen dan para Dirjen Depsos dalam rapat dengan pendapat (RDP) dengan Komisi VIII Depsos masih punya kelebihan anggaran, alias anggarannya nganggur. Depsos kurang giat. Menurut laporan dari Sekjen dan Dirjen masih ada dana sekitar 40% dari total anggaran Depsos,”terangnya. Oleh karena itu, lanjut dia, Komisi VIII akan mengevalusai kembali anggaran itu, kendati anggaran Depsos tergolong kecil dibanding dengan departemen atau instansi lainnya, yakni, Rp 2 triliun. Guna meningkatkan kinerja Depsos, khususnya, untuk menangani masalah anak-anak, ia menyarankan, agar Depsos bisa bekerjasama dengan instansi lain, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara optimal Di Yogyakarta, untuk meningkatkan pengawasan kepada anak-anak jalanan, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta selaku konsultan dari Tim Advokasi Arus Bawah (Taabah) yang menangani anak jalanan di Kota Yogyakarta mendesak Pemerintah Kota Yogyakarta segera merampungkan sedikitnya 342 berkas anak jalanan yang sedang diproses untuk memperoleh Kartu Identitas Penduduk Musiman (Kipem). LBH juga mendesak Pemkot Yogyakarta untuk memberikan fasilitas pelayanan publik, seperti fasilitas kesehatan maupun pemberian keterampilan kepada anak jalanan. Setelah Taabah memperjuangkan Kipem bagi 30 anak jalanan, sekarang ada permintaan lagi dari wilayah Sleman dan Kota Yogyakarta, selain 342 anak jalanan yang sedang diproses Kipemnya,” kata Direktur LBH Yogyakarta Sudi Subakah kepada Kompas, Selasa (17/6). Model penanganan anak jalanan di Yogyakarta merupakan contoh positif perhatian masyarakat dan negara pada warga negaranya yang terlantar dan menderita. Ini merupakan prestasi bagi Taabah. Tetapi, ini juga prestasi dan bukti komitmen Pemkot Yogyakarta terhadap warganya yang miskin dan menderita,” kata Sudi, menambahkan.

Provided by

DR WIDODO JUDARWANTO
FIGHT CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILIA

Yudhasmara Foundation

JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210

PHONE : (021) 70081995 – 5703646

email : judarwanto@gmail.com,

https://pedophiliasexabuse.wordpress.com/

 

Copyright © 2009, Fight Chiold Sexual Abuse and Pedophilia  Network  Information Education Network. All rights reserved