Dewi Seks, Mitos Pembuat Pelacuran Anak

ANAK-ANAK di Indonesia, ternyata menjadi makanan empuk “pemangsa-pemangsa” anak. Mereka diperjualbelikan atau malah dijadikan pelacur anak-anak. Mengapa begitu banyak anak – khususnya anak perempuan yang terlilit masalah ini?. Apa benar masalah utamanya adalah karena kemiskinan dan budaya yang salah? Bagaimana dengan sistem hukum dan peran negara yang ternyata tak pernah mampu melindungi mereka?

Perdagangan anak dan perempuan di Indonesia kini mencapai taraf yang berbahaya. Selain karena belum adanya undang-undang yang memberi sanksi tegas bagi para pelaku licinnya, sindikat perdagangan dan korupnya lembaga penegakkan hukum di Indonesia membuat kasus-kasus perdagangan anak dan perempuan seringkali berakhir di catatan kepolisian atau menjadi data statistik semata. Tak heran jika Komisi Hak Asasi Manusia PBB memasukkan Indonesia dalam daftar hitam “negara yang tidak melakukan tindakan apa-apa untuk menghapuskan perdagangan manusia”.

Perdagangan anak dan perempuan bertujuan memenuhi kebutuhan seks kini terjadi tidak saja di kota-kota besar tetapi juga daerah pinggiran. Organisasi Perburuhan Internasional ILO melaporkan bahwa faktor pendorongnya bersifat beragam mulai dari kemiskinan adanya mitos atau kepercayaan tradisional hingga keinginan mengikuti kehidupan urban yang serba konsumtif.

Seorang wartawan senior mencatat betapa anak-anak yang tinggal di daerah-daerah yang masih memuja tradisi Dewi seks kerap dieksploitasi demi kepentingan tersebut.

“Ada tradisi Dewi Seks – yang terjadi bukan hanya di Indonesia tetapi juga negara Asia lainnya. Di beberapa negara Asia Selatan tradisi Dewi Seks ini berkait dengan tradisi keagamaan. Jadi dilandasi kepercayaan bahwa berhubungan seks dengan anak kecil akan membuatnya awet muda kuat dll. Ini jelas realitas eksploitasi seksual. Yang terjadi dalam tradisi Dewi Seks – baik yang melibatkan tradisi keagamaan atau tidak – tidak hanya merupakan subordinasi atas kekuasaan. Kalau feminisme menyatakan bahwa ini terkait dengan power relation – padahal tidak!. Ini merupakan tradisi manipulatif yang terkait dengan kemiskinan dan marjinalisasi atas satu kelompok”.

Jika di negara belum berkembang tradisi dewi seks atau mitos semacam ini menjadi salah satu faktor munculnya perdagangan anak dan perempuan lain lagi masalah di negara berkembang dan maju. Di kedua tipe negara ini – sistem ekonomi neo liberal dengan unsur pasar bebas yang serba kompetitif memaksa orang kreatif menciptakan barang dan jasa yang dapat dikomersilkan. Disinilah kelompok anak dan perempuan yang tersubordinasi tadi lagi-lagi dieksploitasi.

“Juga unsur sistem ekonomi neo-liberal yang tengah kita jalani – seperti pasar bebas dll. Ini memaksa orang kreatif menciptakan barang dan jasa yang dapat dikomersilkan sehingga anak dari kelompok yang paling miskin sekalipun tetap dapat dianggap memiliki sesuatu yang bisa dijual – yaitu kemudaan tubuh mereka. Ada permintaan – ada penawaran. DI dunia dimana komersialisasi ada maka apapun bisa dilakukan. Dan tubuh muda yang segar adalah komoditi yang dapat diperjualbelikan. Ini dari sisi orang yang jual jasa anak kecil”.

Gabungan faktor tadi membuat anak dan perempuan yang selama ini sudah tersubordinasi menjadi semakin mudah dieksploitasi. Terlebih karena perangkat hukum di Indonesia sendiri sangat lemah. Pasal 297 KUHP yang mengatur soal perdagangan anak hanya memberi sanksi maksimal 4 tahun penjara bagi pelaku. Sementara untuk soal persetubuhan dengan anak di bawah umur di luar hubungan perkawinan – pasal 287 KUHP hanya mengatur sanksi maksimal 9 tahun penjara dan jika berada di dalam perkawinan dan menimbulkan luka maka hanya dikenai sanksi 4 tahun penjara.

Sanksi-sanksi hukum di Indonesia ini jauh lebih ringan dibandingkan negara lain. Di negara seliberal Amerika Serikat misalnya kejahatan ini digolongkan sebagai kejahatan besar dengan hukuman minimal 10 tahun penjara. Beberapa waktu lalu Amerika Serikat dan Inggris bahkan melakukan penangkapan besar-besaran atas 1.200 pengunjung situs internet pornografi anak2 dan mengganjar dua pengelolanya – Thomas dan Janice Reedy. Thomas dijatuhi hukuman 1.335 tahun untuk 89 tuntutan sementara Janice dikenai 14 tahun penjara karena dianggap membantu tindak kejahatan. Filipina bahkan memberlakukan hukuman mati bagi para pelaku perkosaan atas anak

 

sumber : rileks.com

 

Provided by
FIGHT CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILIA

Yudhasmara Foundation

Address : JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210

Phone : 62(021) 70081995 – 5703646

email : judarwanto@gmail.com, 

https://pedophiliasexabuse.wordpress.com/

 

Foundation and Editor in Chief

Dr Widodo Judarwanto

 

Copyright © 2009, Fight Child Sexual Abuse and Pedophilia  Network  Information Education Network. All rights reserved.

Leave a comment