Munculnya kasus-kasus pedofilia di Bali dan terungkapnya perdagangan anak di berbagai daerah menjadi indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kejahatan eksploitasi seksual komersial anak (Eska) dan perdagangan anak. Namun di sisi lain, mencemaskan berbagai pihak termasuk Unicef bahwa tindak kriminal itu telah merata di banyak daerah dengan melibatkan banyak unsur masyarakat termasuk keluarga.
Lembaga internasional yang berkosentrasi pada perlindungan anak ini mengindikasi adanya sindikat terselubung yang beroperasi di Indonesia dan bahkan Asia. Karenanya, pengawasan dan pendataannya tidak mudah. Ribuan anak Indonesia diperkirakan telah menjadi korbannya. Tapi sebagian besar masih takut melaporkan dan malah tidak sadar telah menjadi korban.
Anna Karin Jatfors dari Unicef Indonesia kepada peserta lokakarya pencegahan Eska dan perdagangan anak di Nusa Dua 5 – 6 Desember, mengungkapkan besarnya tugas yang dihadapi. Industri seks di Indonesia menurutnya sangat besar secara ekonomi dan permintaan makin banyak. Memang, katanya, sejumlah pelaku telah dihukum berdasar UU perlindungan anak termasuk di Bali. Tapi wisata seks dan pedofilia masih terus terjadi, bagaikan gunung es yang baru terlihat pada permukaannya.
Padahal eksploitasi seks itu akan merusak kehidupan anak muda, memisahkannya dari keluarga dan masyarakat, menodai dan menghancurkan harga dirinya. Selain itu, menghadapkan korban pada kekerasan fisik dan emosional, terjerumus pada penggunaan obat berbahaya, menjadi peminum dan bisa pula terjangkit penyakit mematikan semisal HIV/Aids.
Bali sebagai destinasi utama wisata internasional di Indonesia, katanya, menjadi daerah potensial berkembangnya Eska khususnya wisata seks. Begitu mudah, menurut Karin, menjumpai gadis muda di daerah Kuta yang bekerja di jalanan, di bar, klub, tempat karoke, dan hotel. Rendahnya pendidikan dan kurangnya kesempatan mendapat pekerjaan merupakan sasaran empuk perdagangan anak. Jutaan anak menurut Karin lagi, tidak melanjutkan sekolah. Alasan ekonomi, gaya hidup konsumerisme, konflik dan lainnya menyebabkan makin terbukanya peluang Eska.
Perkembangan pariwisata juga diakui Ahmad Sofian dari Koalisi Nasional Penghapusan Eska (ECPAT Indonesia) membawa dampak negatif. Ia mengutip pengumuman world tourism organization (WTO) yang diterimanya bahwa 60 persen dari wisatawan dunia melakukan perjalanan ke negara lain dengan tujuan seks. Hanya, tidak disebutkan berapa besar yang melibatkan anak-anak sebagai korbannya.
Kasus Eska dan Penerapan Hukum di Bali
Sang Ayu Alit dari RPK Polda Bali mengungkapkan, ESKA dan perdagangan anak di Bali memang sudah lama terjadi. Setidaknya, kata dia, sejak dibentuk unit RPK tahun 1997 telah terendus praktek tersebut. Diantaranya yang menimpa anak-anak jalanan atau gelandang dan pengemis (gepeng) di kawasan Kuta.
Menurut Sang Ayu, tujuh anak perempuan dari beberapa gepeng yang divisum menunjukkan sudah tidak perawan lagi. Dari keterangan para korban, modus operandi pelaku kejahatan seksual tersebut mirip. Awalnya korban diajak belanja dan jalan-jalan pada siang hari. Ketika hari sudah gelap, si pelaku membawanya ke suatu tempat yang tidak dikenali korban.
Saat itulah serangan dilakukan. Pelaku memberinya minuman memabukkan hingga tertidur pulas. ”Begitu bangun, mereka mendapati dirinya dalam kondisi telanjang,” ujar Sang Ayu penuh keprihatinan. Sayangnya, lanjut Sang Ayu kecewa, korban tidak bisa menunjukkan bukti kuat misalnya tentang waktu dan tempat kejadian. Selain itu, perkenalan yang singkat dengan pelaku menyebabkan korban tidak mudah mengingatnya. Terlebih tempat tinggal pelaku pun tidak diketahui.
Gagal dalam kasus itu tidak membuat Sang Ayu dan timnya di unit RPK putus asa. Pelaku kejahatan seksual pada anak satu persatu terungkap, baik itu yang melibatkan orang asing maupun lokal. Tahun 2001, Mario M, warga berkebangsaan Belanda yang terbukti melakukan sodomi pada sembilan anak di Buleleng diganjar 10 bulan penjara. Ringannya hukuman dikarenakan belum terbitnya UU perlindungan anak, yang baru diberlakukan per 2003.
Dua tahun berikutnya, 2004, aparat menangkap warga Australia William Stuart Brown alias Tony. Selain pelaku pedofilia, yang bersangkutan adalah pengumpul gambar-gambar pornografi anak. Dalam data yang disimpannya, polisi menemukan foto-foto porno yang isinya hanya alat kelamin anak laki-laki dari berbagai daerah. Juga yang bersangkutan membuat film tentang bagaimana ia mengeksploitasi anak-anak tersebut. Dengan desakan dari berbagai lembaga pemerhati anak, akhirnya Tony dijatuhi pidana 13 tahun penjara dan denda Rp 60 juta namun kemudian memilih bunuh diri.
Berikutnya pada 2005, seorang guru yang mencabuli murid-muridnya oleh Pengadilan Negeri Karangasem diputus sembilan tahun kurungan. Sayangnya, pelaku lain yang berwarga Perancis hanya diganjar 2 tahun 6 bulan lantaran berubahnya pengakuan para korban di persidangan dan kejahatan dilakukan sebelum berlakuanya UU Perlindungan Anak sehingga hakim mengacu pada KUHP saja. Menghindari hal serupa, diharapkan ada pihak yang memberi dukungan dan terus menguatkan korban sehingga kesaksian tidak berubah antara di penyidikan dan persidangan.
Kisah lainnya tentang pria asal Belanda, Mark L. Ia memikat warga di Buleleng dimana ia tinggal dengan menyumbang peralatan olahraga. Ia juga melatih anak-anak setempat bermain bola. Ujung-ujungnya, salah seorang murid menjadi korban sodomi hingga Mark dikenai pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 60 juta. “Kasus ini belum berketetapan hukum karena sekarang masih di tingkat kasasi,” kata Sang Ayu.
Sementara di tahun ini, terdapat dua kasus menonjol. Tujuh anak menjadi korban pedofilia dengan pelaku bermana Muh Hidayat. Kejadian di Tabanan ini berawal dari tertangkapnya anak yang terpaksa mencuri karena tidak punya uang. Selama beberapa waktu yang bersangkutan terbiasa menerima uang dari pelaku setiap pulang sekolah. Imbalannya harus menemani pelaku menonton film porno kemudian disodomi. ”Ketika tidak dikasih uang, akhirnya si anak mencuri. Dan ketika ditelisik akhirnya diketahui ada tujuh anak jadi korban,” imbuh Sang Ayu yang mengatakan si pelaku telah dihukum delapan (8) tahun penjara.
Kasus terbaru adalah perdagangan anak, siswa SMU, yang melibatkan mantan Bupati Karangasem W Sumantara. Menurut Sang Ayu, kasus tersebut termasuk ESKA karena korban dieksploitas oleh gurunya dengan imbalan tertentu. Sekarang aparat telah menetapkan lima tersangka, dan tak lama lagi berkasnya sampai ke kejaksaan. Sang Ayu menilai kasus tersebut lumayan menyita energi lantaran adanya kekuatan politik yang mencoba intervensi. Ia mengharap, ”Ada dukungan dari berbagai pihak kepada kami dan penegak hukum hingga selesainya sidang mendatang.”
Yang patut mendapat perhatian juga, kasus pornografi oleh warganegara asing. Belum lama ini, aparat di Sydney, Australia, mengamankan salah seorang warganya yang kedapatan menyimpan gambar-gambar porno berupa alat kelamin. Dari investigasi diperoleh hasil, yang bersangkutan sengaja mengambil gambar empat anak di Bali yang mandi telanjang. Rupanya, anak-anak tersebut keponakan guide-nya. Akibat ulahnya itu yang bersangkutan dicekal oleh pemerintahan Australia, tidak diperkenankan bepergian keluar negeri.
Pelaku Menyamar sebagai Donatur
Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan bahaya Eska dan tingginya hukuman bagi pelaku yang terbukti bersalah, menurut Sang Ayu, cukup membuat takut oknum lainnya. Sehingga muncul modus baru di Bali yaitu pemberian donasi atau bantuan ke yayasan atau panti asuhan.
Pemberian bantuanya tidak teratur namun pendekatan secara personel cukup bagus. Suatu ketika, si oknum donatur akan mencari kesempatan untuk kontak langsung anak-anak asuhan di panti atau yayasan tersebut untuk diajak jalan-jalan, belanja, renang, atau berlibur ke lain tempat. ”Kami sedang mengawasi modus seperti itu,” ujar Sang Ayu yang menambahkan, pihak kepolisian Australia akan berbagi info tentang para pelaku pedofilia apabila bertandang ke Indonesia dan khususnya Bali. Terdapat pula anak dari Bali yang sengaja dibawa ke negeri kanguru, dengan memalsukan identitas di kartu tanda penduduk (KTP). Si anak akhirnya ditemukan sementara pembuat KTP palsu menghilang.
Ahmad Sofian dari ECPAT Indonesia membenarkan adanya modus itu. Katanya, paska tsunami di Aceh, sejumlah donatur asing secara pribadi membantu korban. Termasuk diantaranya berdalih memulihkan psikologi anak dengan cara mengajaknya berlibur. ”Tujuan utama kalau mereka mengajak anak-anak Aceh adalah Medan. Anak-anak diajak tidur di hotel, belanja, main di kolam renang. Kecurigaan mereka melakukan kejahatan ada karena hal itu tidak sekali dua kali dilakukan,” papar Sofian.
Berbagai kendala menghambat proses penyidikan tindak kejahatan ESKA ini. Menurut Sang Ayu, selain dana diperlukan sumber daya khusus untuk melakukan investigasi. ”Sebagian kegiatan RPK selama ini mengandalkan dana swadaya, tenaga yang memahami benar tentang ESKA juga belum banyak. Tugas kami, ada atau tidak ada dana penyidikan harus jalan.” Ia menyesalkan juga tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah, tidak melaporkan tindak pelecehan seksual sepanjang menerima imbalan. Selain itu, tidak terdapatnya data base alamat atau tempat menginap tamu atau wisatawan yang datang ke Bali. Ia mencontohkan adanya turis dari Perancis yang telah dianggap hilang di negaranya, ternyata berdiam di Buleleng secara bebas hingga lima tahun dan telah membuat vila.
Menyangkut hukum, Sang Ayu merasakan adanya kemajuan. Hanya, menurut dia, mata rantai hukum terputus ketika perkara dilimpahkan ke kejaksaan. Sebab di lembaga tersebut tidak membentuk unit yang sama, RPK. Katanya, “Itu hanya ada di Kejagung saja. Jadi seolah jalur peradilan terputus.”
Menangkal Eska dan Wisata Seks
Anneka Farrington dari Child Wise Australia mengaku bangga dengan proses hukum di Indonesia terhadap pelaku kejahatan Eska secara bertahap meningkat. UU yang diberlakukan menurutnya pula, perlu terus diperbaiki sehingga peluang lepasnya pelaku dari jeratan hukum semakin kecil.
Australia, lanjut Anneka, telah memberlakukan UU tentang wisata seks terhadap anak. Aturan ini membolehkan warga Australia yang terbukti bersalah namun lepas dari jerat hukum negara lain, diproses lagi di pengadilan Australia. Sejak pemberlakuannya 1994 silam, sebanyak 23 kasus diproses pengadilan Australia.
Ia menambahkan, Singapura juga segara memberlakukan UU serupa. Ketika hal itu diumumkan, telah terdapat laporan menurunnya angka perjalanan wisatawan dari Batam ke negeri singa tersebut sebesar 15 persen. Pengunjung bar dan resto di Batam juga menurun sampai 50%. Ia mengakui adanya dampak lain dari pemberlakuan UU itu. Hanya, ia terus mengingatkan perlunya komitmen dari berbagai pihak bahwa pelaku kejahatan harus ditindak.
Sejumlah negara termasuk Australia dikatakan Anneka akan memberikan informasi apabila diketahui ada pelanggar atau warga yang menderita kelainan seks masuk ke negara lain termasuk Indonesia. Bahkan, untuk membuat jera, pemerintah Inggris membuat data komplit di internet yang bebas diakses perihal pelaku kejahatan Eska. Termasuk diantaranya menampilkan biodata dan foto diri pelaku.
Lebih jauh Anneka menjelaskan, organisasinya mendapat dana dari AusAid yang program kerjanya berlaku di Australia dan Asia Pasific. Ini, tegasnya, sebagai bukti komitmen pemerintah Australia terhadap persoalan Eska terlebih menyangkut kejahatan wisata seksual terhadap anak.
Kejahatan tersebut, dikatakan Anneka, ada di banyak negara khususnya kawasan pariwisata, terlebih yang penerapan hukumnya masih rendah. Kawasan Asean menurutnya menjadi salah satu tujuan utama para turis, yang sebagiannya diperkirakan bukan murni berwisata menikmati alam dan budaya.
Mengantisipasi berkembangnya wisata seks, organisasinya tengah gencar membantu badan-badan pariwisata baik di pemerintah pusat maupun daerah, termasuk Bali, mempersiapkan capasity building. Workshop dan seminar akan digalakkan dengan spesifikasi peserta para pekerja di dunia pariwisata semisal pekerja hotel, guide, resepsionis, bahkan sopir taksi. Untuk keperluan itu, organisasinya membangun semacam gugus kerja regional yang tugas utamanya kampanye ke publik guna mencegah berkembangnya wisata seks. Kehati-hatian bukan saja ditujukan pada wisatawan kulit putih melainkan juga turis domestik.
Berbagai famplet dan poster telah dibuat untuk mendukung kampanye dengan banyak sasaran semisal hotel, warnet, bus, boardingpass, taksi, anak sekolah, anak jalanan dan sebagainya. Tujuannya adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab setiap orang untuk ikut mengenali tindak kejahatan itu, membuat takut pelaku, serta menghapus toleransi bagi kejahatan tersebut. Di Bali, Child Wise membuka hotline khusus 0361-226783. “Tolong laporkan bila ada pelaku sex tourism sehingga akan di band,” tegas Anneka saat menjadi pembicara di lokakarya yang diikuti perwakilan berbagai lembaga peamerintah maupun nonpemerintah di Bali itu.
Bali Percontohan Area Wisata Bebas Eska
Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Prof DR Mutia Hatta Swasono dalam sambutan yang dibacakan Asisten Deputi Bidang Tindak Kekerasan Anak dr Suparlato, mengingatkan kembali pencanangan daerah wisata bebas Eska maupun yang bukan komersial tahun 2003. Sebagai percontohan adalah Bali dan Batam yang tergolong sebagai daerah tujuan dan transit Eska.
“Pada kesempatan ini, saya mengingatkan kembali akan komitmen, peran dan tugas masing-masing sektor atau dinas, lembaga atau organisasi masyarakat serta swasta dalam gugus tugas,” katanya. Menindaklanjuti pencanangan tersebut, Gubernur Bali menerbitkan SK Gubernur No. 158/01–D/HK/2005 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Tim Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Orang Dan Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (PESKA) tgl 12 April 2005. Bupati Buleleng pun menerbitkan SK Bupati Buleleng No 341 Tahun 2005 tanggal 7 September 2005. Mutia berharap, “Bila gugus tugas atau sejenisnya belum bekerja semestinya, sebaiknya menyatukan kembali komitmen bersama.”
Meningkatnya jumlah anak-anak yang mengalami eksploitasi, kekerasan seksual, anak-anak yang tidak terlindungi, pornografi dan pornoaksi, tidak terlepas dari peran institusi keluarga, kata Mutia. Perubahan sosial masyarakat yang sedang terjadi telah memberikan dampak terhadap institusi keluarga sebagai wahana yang pertama dan utama dalam membangun sumberdaya insani (SDM). Perangkat hukum juga belum cukup efektif memidanakan pelaku. Tahun ini, 2006, Indonesia dinilai turun pada strata yang lebih bawah pada paparan tier-2 (Laporan KBRI Washington DC atas artikel The Washington Post, Ed 23 Juli 2006).
Karenanya ia meminta adanya integrasi dalam Gugus Tugas Pemerintah dan lembaga-lembaga yang ada, baik nasional maupun internasional, organisasi masyarakat, profesi, atau organisasi-organisasi pemerhati perempuan dan anak, memiliki peran yang strategis dan melaporkan kejadian-kejadian di lapangan masa kini. Untuk pelayanan yang lebih operasional, diintegrasikan ke dalam pelayanan secara lebih umum dan perlu dioptimalkan di tingkat bawah mencakup PKK, RT dan RW. Suparlato menandaskan, tugas pertama satuan gugus adalah membangun infrastruktur serta menentukan parameter penggolongan perdagangan atau bukan.
Emmy LS, Koordinator Presidium Nasional Indonesia Againts Child Trafficking, menandaskan adanya empat bentuk Eska yaitu prostitusi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, pornografi anak, dan child sex tourism. Ia menyebutkan, di Solo, Jawa Tengah, banyak anak-anak menjadi simpanan. Pelaku sudah seperti bapak angkat yang memberikan imbalan berupa uang sekolah tiap bulannya. Banyak pula, lanjut Emmy, anak-anak yang akhirnya berkelakuan tidak umum karena tumbuh menjadi gay atau waria. Rata-rata, anak tersebut tinggal di hotel-hotel dengan harga murah, hanya Rp 15.000 – Rp 20.000 perhari.
Dari data yang ia himpun, 30 – 35 persen pekerja seks di Mekong sebagai subregion Asia Tenggara berusia 12 – 17 tahun, di Meksiko lebih dari 16.000 anak terikat prostiusi, dan di Lithuania antara 20 – 50 persen pekerja seks adalah anak-anak bahkan masih berusia 11 tahun. Untuk Indonesia, tahun 1998, sedikitnya 30 persen (40.000 – 70.000) dari total pekerja seks komersil (PSK) adalah anak-anak, diantaranya warga asing. Usia berkisar 12 – 17 tahun, sebagian besar anak perempuan. Kasus perdagangan manusia khususnya anak-anak, tujuan utamanya adalah eksploitasi seksual. Sebesar 33 persen atau sekitar 1,2 juta orang dari total perdagangan manusia adalah anak-anak.
Pelaku perdagangan anak diantaranya broker atau agen perekrut, oknum pemerintah, majikan, pemilik dan pengelola rumah bordil, dan bahkan orang tua. Suparlato menambahkan, ada lima aspek hukum terkait Eska yaitu merekrut tanpa membeir info yang benar, saat transaksi antar agen, saat pejabat menyalahgunakan wewenang semisal dalam pembuatan KTP, saat terjadi penyekapan (yang bersangkutan tidak boleh berhubungan dengan orang luar), dan ketika eksploitasi terjadi. Kesemuanya bisa dikenai hukuman minimal 4 tahun penjara.
Keuntungan perdagangan anak dan Eska menempati urutan tiga besar setelah jual beli senjata dan narkoba. Proses perekrutan dan transaksi pun dinilai paling gampang. “Jadi keuntungan pelaku ya itu tadi, prosesnya mudah dan uangnya banyak,” kata Suparlato.
Di cirebon, orangtua menjual dua anaknya masing-masing Rp 600.000 dengan tujuan untuk biaya alih profesi dari petani menjadi tukang ojek. Ketika akan menjual satu anaknya lagi yang paling besar, baru diketahui dan akhirnya ditangkap.
“Harga bayi, di Jakarta, bila lewat agen berkisar Rp 250.000 – Rp 300.000 saja peranak. Kalau langsung bisa jutaan,” Suparlato menginformasikan pula pada April 2006 pengiriman waria ke Eropa sebanyak 58 orang. Lebih miris lagi, katanya, merebaknya isu perdagangan bayi usia prematur di Kalimantan Barat. Jadi, bayi dalam kandungan usia 7 bulan dipaksa lahir. Kabarnya, organ bayi dimanfaatkan untuk obat atau parkinsum. Bayi bersangkutan dibeli dengan harga tinggi, hingga Rp 50 juta. Untuk mencegahnya, perlu dilakukan audit terhadap bayi-bayi yang dikatakan telah meninggal.
Provided by
DR WIDODO JUDARWANTO
FIGHT CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILIA
Yudhasmara Foundation
JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210
PHONE : (021) 70081995 – 5703646
email : judarwanto@gmail.com,
https://pedophiliasexabuse.wordpress.com/
Copyright © 2009, Fight Child Sexual Abuse and Pedophilia Network Information Education Network. All rights reserved.
Filed under: b.pedofilia ancam Indonesia | Tagged: hukum di indonesia pedofilia iNDONESIA: Trafficking fuels commercial sex work children sexual abuse child neglect pedophilia | Leave a comment »