PARAFILIA : PENYEBAB DAN PENANGANANNYA

Voyeurism tercakup dalam kelompok ganguan yang lebih luas yang disebut paraphilia. Mereka  yang menderita gangguan ini memiliki ciri-ciri memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu dan kuat, fantasi-fantasi seksual, atau menampilkan berbagai tingkah-laku yang  melibatkan objek, aktivitas atau situasi yang tak lazim dan menyebabkan stres negatif serta melemahnya fungsi-fungsi sosial, aktivitas kerja dan fungsi-fungsi penting lainnya.

Dalam DSM-IV ada delapan gangguan seksual yang tercakup dalam Paraphiliaexhibitionism, fetishism, frotteurism, pedophilia, sexual masochism, sexual sadism, transvestic fetishism, dan voyeurism. DSM-IV juga memperluas daftar paraphilia dengan kategoori paraphilia yang tidak tergolongkan sevcara khusus mencakup telephone scatologia, necrophilia, partialism, zoophilia, coprophilia, urophilia, dan klismaphilia (hal. 532). Paraphilia merujuk pada semua kebutuhan yang tak terkendali akan khayalan, tindakan atau objek yang tak lazim dengan tujuan memperoleh kesenangan seksual. Di dalamnya termasuk juga kebiasaan menggunakan benda-benda mati (pakaian, perhiasan dan benda-benda tertentu yang berkaitan dengan lawan jenis), mendapatkan kenikmatan dari kesakitan dan rasa terhina (pada diri sendiri atau orang lain), serta melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak mau melakukannya.

Gangguan paraphilia ditandai oleh empat langkah yang membentuk daur: (1) preokupasi atau ketertarikan dan perhatian pada objek atau adegan seksual yang intensif dan terus-menerus; (2) ritualisasi dalam bentuk melakukan perilaku-perilaku tertentu yang berkaitan dengan aktivitas seksual; (3) Tingkah-laku kompulsif yang terwujud dalam bentu berulangnya perilaku seksual menyimpang; dan (4) perasan sedih, murung, hampa, menderita dan depresi yang kemudian mengarahkannya kembali pada perilaku seksual menyimpang sebagai upaya untuk menghilangkan perasan-perasan negatif yang ditanggungnya.

Voyeurism (voyeurisme) sebagai salah satu bentuk paraphilia mencakup perilaku-perilaku melihat secara sembunyi-sembunyi orang lain yang telanjang, melepas/mengganti pakaian, atau sedang berhubungan seksual, dengan tujuan utama agar terangsang secara seksual. Keterangsangan secara seksual dan kenikmatan seksual yang menyertainya merupaka hasil yang diharapkan diperoleh dalam perilaku mengintip itu. Perilaku voyeurisme mencakup juga perilaku menonton film yang mengandung objek dan adegan-adegan seksual, mengintip celana dalam dan beha, serta dalam derajat yang lebih rendah terwujud dalam perilaku memandangi orang yang dianggap berpotensi menjadi partner seksual. Perilaku curi-curi pandang pada saat ‘nongkrong’ di tempat umum seperti kafe pun dapat disebut sebagai kecenderungan voyeurisme dalam derajat yang rendah.

 

Penyebab dan Penanganan Paraphilia

Pendekatan teori psikodinamika dalam psikologi menyatakan bahwa objek yang netral dapat menjadi objek yang memiliki daya tarik seksual karena adanya hambatan atau ketidakmampuan untuk menyalurkan dorongan seksual pada objek seksual yang lazim. Objek netral itu dijadikan sasaran pelampiasan dorongan seksual sebab dianggap mampu menghasilkan kepuasan seksual pengganti objek seksual yang lazim. Perilaku mengalihkan pemenuhan dorongan seksual ke objek lain itu terbentuk di masa kanak-kanak. Dalam kasus voyeurisme, penderita melakukan pengalihan pemenuhan dorongan seksual ke objek lain dalam bentuk mencuri lihat hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan rangsangan seksual. Rangsangan seksual itu dianggap dapat menghasilkan kenikmatan dan kepuasan seksual si pelaku.

Pengalihan dorongan seksual ini dapat disebabkan oleh peristiwa-peristiwa tertentu yang memaksa penderita di masa lalu untuk menekan dorongan seksual kepada objek yang lazim. Tekanan yang menghambat dorongan seksual itu dapat berasal dari orang-orang dekat yang lebih berkuasa seperti orangtua, adanya perasaan bersalah,  atau kondisi-kondisi lain yang membuat si penderita merasa tidak mampu menyalurkan hasrat seksualnya. Lalu, oleh karena dorongan seksual itu tidak dapat dihilangkan dan tetap butuh pelampiasan, orang yang bersangkutan mencari-cari cara pelampiasan yang dianggap aman. Orang yang menderita voyeurisme menjadikan kegiatan mengintip objek seksual seperti tubuh telanjang dan persetubuhan sebagai cara yang membuatnya mampu menyalurkan dorongan seksual yang dimilikinya.

Selain hambatan-hambatan penyaluran hasrat seksual di masa lalu, voyeurisme juga dapat terjadi karena pembiasaan yang cukup intensif. Pengalaman mengintip objek dan aktivitas seksual yang menghasilkan kesenangan memberinya dorongan besar untuk mengulangi lagi pengalaman itu. Semakin sering dan intensif pengalaman itu terjadi, semakin besar dorongan untuk mengulanginya. Lama kelamaan dorongan itu terinternalisasi dan seolah-olah menjadi dorongan yang dianggap inherent terkandung dalam dirinya. Dorongan itu lalu dipersepsikan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi.

Pendidikan seksual yang memadai dan jelas dari orang tua atau pihak-pihak lain yang terkait dengan anak-anak dapat membantu mencegah munculnya gangguan voyeurisme di masa depan. Pencegahan ini jauh lebih murah ketimbang pengobatannya. Penyembuhan penyimpangan seksual ini tergolong sulit dan mahal. Selain itu, dari sejarah penanganan gangguan dan penyimpangan seksual, terapi yang dilakukan dapat dikatakan tidak manusiawi. Banyak penderita penyimpangan seksual yang diterapi dengan eletric shock (disetrum).

Penanganan yang lebih manusiawi adalah dengan terapi kognitif dan tingkah laku untuk memberikan kesadaran pada penderita agar menghilangkan kebiasaannya. Tetapi dari data yang tercatat, rata-rata penurunan frekuensi dan intensitas perilaku hanya 50% dan memerlukan waktu yang relatif lama. Penggunaan obat-obatan atau zat-zat kimia organik juga dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku penyimpangan seksual. Zat yang digunakan biasanya adalah Depo-Provera, Androcur atau Triptorelin. Dengan terapi obat ini, ketidakstabilan hormon penderita dimanipulasi sedemikian rupa sehingga dorongan seksual yang dimilikinya menurun.

Namun, meski sudah diberikan obat-obatan, secara psikologis harus tetap dilakukan perbaikan sebab obat-obatan itu hanya mempengaruhi aspek fisologis. Sedangkan aspek psikologisnya yang dianggap sebagai penyebab utama perlu ditangani secara psikologis pula. Dari kajian-kajian ilmiah tentang paraphilia, ditemukan bahwa penyimpangan seksual ini merupakan bentuk kecanduan yang non-kimiawi. Jadi penyebabnya bukan kondisi kimiawi dalam tubuh tetapi kondisi psikis berupa ketidaknyamanan psikologis yang mendorong penderita melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk menghilangkannya.  

 

 

Voyeurisme sebagai Kejahatan

 

Voyeurisme pada dasarnya adalah penyimpangan seksual yang efek negatifnya terkena pada diri orang yang melakukannya. Namun pada prakteknya, voyeurisme dapat menjadi hal yang merugikan pihak lain dan dianggap sebagai serangan atau ancaman bagi orang lain. Dalam konteks praktis ini dapat muncul voyeurisme yang digolongkan sebagai kejahatan.

Voyeurisme sebagai serangan atau ancaman merujuk pada kasus-kasus dimana orang yang diamati memiliki alasan yang masuk akal untuk berharap hal-hal pribadinya tidak diketahui orang lain. Contoh, orang yang tak ingin tubuhnya dilihat oleh orang lain pada saat mengganti baju atau melaku hubungan intim dengan pasangannya.

Perilaku voyeur (mengintip) dinilai sebagai tindakan yang merugikan orang lain dan bisa disebut sebagai kejahatan baik jika dilakukan untuk kepentingan kepuasan seksual sendiri maupun untuk kepentingan memuaskan seksual orang lain. Hidden camera yang digunakan untuk mengambil gambar orang telanjang di kamar mandi atau di kamar tidur merupakan salah satu contoh perilaku voyeur yang dapat digolongkan sebagai kejahatan. Bobot kejahatan dari perilaku voyeurisme lebih besar lagi jika hasilnya disebarluaskan, apalagi diperdagangkan. Perilaku mencuri dengan pandangan pada vouyerisme berkembang lebih parah menjadi perilaku mencuri tayang.

Di negara-negara tertentu, seperti Canada, sangsi yang diberikan pada kejahatan semacam ini adalah hukuman penjara maksimum dua tahun. Kasus fotografer atau kameramen yang mengambil gambar tak senonoh dari seseorang tanpa ijin dan menyebar luaskan hasilnya dapat diajukan ke pengadilan dan diberi sangsi hukum. Di Indonesia belum ada aturan hukum yang jelas tentang kejahatan seksual termasuk voyeurisme. Diatur dalam pasal 282 ayat 2 dan ayat 3 KUHP serta pasa 5 No.40 Undang-Undang Pers 1999 tentang tindak pidana menyiarkan, mempertontonkan dengan terang-terangan suatu tulisan dan gambar yang melanggar kesopanan. Dasar hukum yang digunakan di Indonesia adalah nilai dan norma sosial yang berkaitan dengan kesopanan, bukan pelanggaran hak pribadi dan kerugian yang diderita oleh korban.

 

Penderitaan yang ditanggung korban

Korban kejahatan voyeurisme menanggung beban psikologis yang lebih berat daripada korban kejahatan umum. Kejahatan voyeurisme merampas dua hal penting dari korban: (1) hak pribadi atas tubuh dan aktivitas seksual, serta (2) hak atas nama baik dan kehidupan yang tenang dalam lingkungan sosial. Perampasan atas dua hak tersebut diikuti pula dengan konsekuensi kehilangan kebebasan.

Hak pribadi atas tubuh dan aktivitas seksual merupakan hak yang terberi pada manusia sebagai makhluk hidup yang menjadi subjek bagi dirinya sendiri. Tubuhnya adalah wilayah privat yang sepenuhnya menjadi tanggung-jawabnya. Ketika hak atas tubuhnya dengan semena-mena dilanggar dan direbut maka subjek kehilangan sebagian besar kuasa atas diri. Tubuh yang mencakup juga bagian-bagian sensitif dari dirinya dieksploitasi oleh orang lain. Eksploitasi ini dapat dianalogkan dengan perbudakan yang memaksa orang untuk melakukan berbagai aktivitas dengan tubuhnya untuk kepentingan orang lain. Perampasan atas hak tubuh pada kejahatan voyeurisme dapat disetarakan dengan perbudakan oleh manusia atas manusia meski dalam derajat yang berbeda. Berkaitan dengan kebutuhan reproduksi pada manusia, aktivitas seksual juga merupakan hak pribadi manusia. Hak tubuh untuk menikmati diri dan melakukan kewajibannya dilanggar oleh kejahatan voyeurisme. Pelanggaran atas hak aktivitas seksual juga merupakan bentuk perbudakan atau penjajahan satu orang terhadap orang lainnnya.

Hak atas nama baik dan kehidupan sosial yang tenang menjadi sangat penting dalam masyarakat yang normatif seperti Indonesia. Dengan dipertontonkannya tubuh dan aktivitas sosial tanpa seijin pemiliknya, nama baik dan ketenangan sosial si pemilik tubuh tergantung bahkan terampas. Tubuh dan aktivitas seksual yang bersifat privat itu dipublikasikan kepada khalayak, dibagi-bagikan tanpa kehendak dari si pemiliknya. Seolah-olah semua orang berhak atas tubuh dan aktivitas seksual korban. Citra diri korban jadi diremehkan dan dianggap tidak berharga untuk dilindungi. Korban menjadi orang yang diketahui wilayah pribadinya, dan mengingat kecenderungan normatif dalam masyarakat Indonesia, citra diri korban pun dilecehkan. Kesan dan penilaian negatif jadi sangat mudah divoniskan pada korban. Seakan-akan korban adalah orang yang dapat dimanfaatkan secara seksual dan tubuhnya adalah barang jajaan yang dapat dinikmati siapa saja.

Pelecehan dan pencemaran nama baik, pengobjekan korban dan terbukanya wilayah privat ke khalayak menyebabkan korban secara sosial tidak sejajar dengan anggota masyarakat umumnya. Korban adalah objek masyarakat. Setiap orang yang sudah melihat tubuh dan aktivitas sosial korban seakan-akan punya kuasa untuk menilai, mengurusi dan bahkan melecehkan korban. Ruang gerak korban jadi sempit karena mesti menanggung malu dan rasa rendah diri sebagai objek. Apalagi posisi objek di sini adalah objek seksual. Secara normatif, objek seksual cenderung direndahkan dalam masyarakat normatif seperti Indonesia.

Dari sini dapat dipahami bahwa korban mendapatkan pukulan psikologis dan sosial bertubi-tubi yang berkepanjangan. Pukulan psikologis dan sosial itu menjadi trauma dalam diri korban. Trauma menyebabkan rasa tidak nyaman berkepanjangan dalam diri korban.

 

Provided by
FIGHT CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILIA

Yudhasmara Foundation

Address : JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210

Phone : 62(021) 70081995 – 5703646

email : judarwanto@gmail.com,

https://pedophiliasexabuse.wordpress.com/

 

Foundation and Editor in Chief

Dr Widodo Judarwanto

 

Copyright © 2009, Fight Child Sexual Abuse and Pedophilia  Network  Information Education Network. All rights reserved.